Hakikat manusia merupakan makhluk kolektif. Dalam sosiologi disebut makhluk sosial (an-nass, zoon politicon). Dianggap makhluk sosial karena manusia itu lemah, bergantung kepada yang lain, tidak mampu bertahan hidup sendirian, dan fitrah untuk bergaul serta berinteraksi. Sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput selalu membutuhkan pertolongan. Siapapun dan bagaimanapun manusia pasti bergantung kepada yang lain. Fitrah manusia sebagai makhluk sosial diharapkan dapat membangun dan meneguhkan kolektivitas. Kolektivitas akan melahirkan berbagai kemudahan.
Sebab itu, dalam setiap aktivitas perlu diteguhkan kolektivitas bersama. Dari sana akan lahir berbagai kemudahan dan keringanan dalam menyukseskan suatu kegiatan. Bayangkan, jika sebuah meja belajar diangkat sendiri, pasti akan terasa berat. Tapi, jika meja belajar itu diangkat oleh beberapa orang (kolektif) pasti akan terasa ringan. Atau, jika berpuasa di lingkungan orang-orang yang tidak berpuasa, pasti akan terasa sulit. Sebaliknya, jika berpuasa di lingkungan orangorang berpuasa, tentu akan terasa gampang. Sebab itu, kolektivitas bukan hanya terkait dengan urusan duniawi, tapi juga kebaikan ukhrawi.
Maka dalam kehidupan sosial perlu diteguhkan kebaikan kolektif (amaljama'i), agar kebaikan tersebar ke seluruh penjuru. Karena jika kebaikan hanya disebarkan secara personal pasti memiliki berbagai keterbatasan. Untuk itu, kebaikan hendaknya tidak hanya sekedar mengandalkan kemampuan dan ketrampilan pribadi. Tapi, harus disebarkan secara kolektif, agar kebaikan akan berjalan efektif dan efisien. Budaya kolektivitas dalam kebaikan harus ditumbuhkan kembali. Islam berkembang ke berbagai penjuru hingga saat ini disebabkan karena dakwah kolektif yang dibangun Rasulullah Saw.
Jika menilik Alquran, tersirat pentingnya meneguhkan kebaikan kolektif. Firman Allah SWT: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al Imran: 104). Para pakar menguraikan, jika minkum (segolongan kamu) dalam ayat di atas sebagai littab'idhiyah (menyatakan sebagian) maka kebaikan wajib kifayah disebarkan secara kolektif. Tapi, jika minkum (segolongan kamu) di atas dianggap sebagai Iilbayaniyah (menyatakan penjelasan) maka kebaikan fardhu'ain disebarkan secara pribadi.
Simpulan utuh dari argumentasi di atas, kebaikan yang mampu disebarkan dan diselesaikan secara pribadi, maka fardhu'ain bagi setiap orang. Tapi jika kebaikan tidak mampu disebarkan secara pribadi, maka fardhu kifayah dilakukan secara kolektif. Sebab realitas menunjukkan bahwa banyak persoalan keumatan, semisal kemiskinan, pengangguran, penegakan syariat Islam, kriminalitas, korupsi, Narkoba, harus diperangi secara kolektif, bukan hanya personal. Sebab itu, kolektiftas menjadi penting dalam mengurai berbagai persoalan keumatan.
Beberapa Keuntungan
Untuk itu, kebaikan secara kolektif memiliki banyak keuntungan (fadhilah). Berikut beberapa keuntungan kebaikan secara kolektif yakni, pertama, ama|an utama (afdhal). Kolektivitas merupakan ama|an utama dan terbaik. Semisal shalat yang lebih utama dilakukan secara kolektif (berjamaah). Pesan profetik bahwa shalat secara berjamaah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendirian. Apalagi terkait dengan amal sosial pasti memerlukan kolektivitas.
Selain itu, Allah SWTmenyatakan bahwa lebih cinta kepada kebaikan yang dilakukan secara kolektif. Semisal, firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di ]alan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS. Ash-Shaff:4).
Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan yang dilakukan
secara kolektif mendapatkan perhatian dan reward lebih dari Allah SWT, dibandingkan dengan kebaikan individual. Dari sanalah muncul motto; mari bersama menuju Surga. Karena itu, ego pribadi hanya ingin masuk surga sendiri saja perlu dihilangkan.
Kedua, lebih mudah dan ringan. Kebaikan kolektif meringankan dan memudahkan dalam menyukseskan setiap kebaikan. Karena ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Jika dikerjakan secara kolektif maka sesuatu yang ringan akan lebih ringan, dan sesuatu yang berat akan terasa ringan. Maka perlu dibentuk berbagai komunitas/kelompok/Iembaga/organisasi dalam rangka meneguhkan kebaikan kolektif. Semua pihak harus dilibatkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan keummatan sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing. Jangan pernah berharap berbagai persoalan keummatan akan terselesaikan tanpa kerja kolektif.
Ketiga, hasil akan terukur dan berdampak luas. Ali bin Abi Thalib ra berpesan bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir. Artinya, banyak persoalan keummatan saat ini dilakukan secara sistemik dan massif. Semisal mewabahnya korupsi dan Narkoba, merupakan diantara persoalan yang berlangsung secara sistemik dan massif. Sebab itu diperlukan model dan strategi sistemik dan massif untuk mencegah dan menguraikannnya. Langgengnya kejahatan sistemik dan massif tersebut disebabkan oleh ketiadaan kebaikan sistemik dan massif.
Dengan demikian, mencegah dan membasmi berbagai kejahatan sistemik dan massif harus dilawan dengan kebaikan yang sistemik dan massif pula. Gerakan sistemik dan massif merupakan kerja kolektif. Maka kolektivitas menjadi fundamental kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Pesan Ali bin Abi Thalib ra di atas merupakan indikasi pentingnya meneguhkan kebaikan secara kolektif melawan kejahatan kolektif. Jika tidak, berbagai persoalan keummatan akan sulit diurai. Kini saatnya kebaikan digerakkan secara kolektif.
Keempat, lahirnya konsistensi dalam berbuat kebaikan. Setiap mukmin memiliki iman fluktuatif. Kadang iman bertambah, diwujudkan dengan gejala meningkatnya kuantitas dan kualitas amal kebaikan. Tapi kadang iman berkurang, tampak dari gejala menurunnya kuantitas dan kualitas amal kebaikan. Sebab itu, keuntungan kebaikan kolektif yakni di saat mukmin yang satu imannya sedang bertambah, maka ia dapat memotivasi mukmin yang lain. Sebaliknya, ketika kita iman berkurang, maka akan diberi motivasi oleh mukmin yang lain. Inilah keuntungan terbesar dari kebaikan yang dilakukan secara kolektif.
Meneguhkan kebaikan kolektif sebenarnya sedang meneguhkan konsistensi seseorang dalam berbuat kebaikan. Sehingga kebaikan terus berjalan kontinu dan konsisten (istiqamah). Tetapi ketika kebaikan kolektif tidak ada, maka kebaikan akan berjalan berdasarkan kondisi iman dan psikologis pribadi. Yakni pada saat bahagia kebaikan semakin meningkat, tapi di saat sedih kebaikan berkurang (QS. AI-Fajr: 15-16). Realitas ini dapat di observasi ke ruang pasien di rumah sakit, dimana para pasien jarang yang menunaikan shalat wajib. Padahal, idealnya seseorang ketika sedang sakit dan mendapatkan musibah ia lebih dekat dengan Allah SWT.
Kelima, dapat mengenali diri. Meneguhkan kebaikan kolektif juga dapat menjadi pendorong bagi seseorang untuk berkontemplasi (introspeksi, muhasabah) diri. Sehingga dapat mengenali kelebihan dan kekurangan diri. Secara psikologis kita hanya dapat mengenali kelebihan pribadi, tapi jarang yang mampu mengenali kekurangan pribadi. Sebab itu, kebaikan kolektif akan menjadikan satu sama lain saling koreksi diri agar lebih baik di masa depan. Proses perkenalan diri disebabkan telah melalui proses perkenalan (ta'aruf), saling memahami (tafahum), saling membantu (ta'awun), dan saling menjamin (takaful).
Untuk itu, menjaga dan melestarikan nilai-nilai Islami (islamic values) dalam kehidupan merupakan tanggungjawab setiap Muslim. Impian tersebut hanya dapat diwujudkan dengan meneguhkan kebaikan kolektif. Semoga!