Kosa kata wani piro (berani berapa) begitu populer di kalangan masyarakat apalagi menjelang pilkada, pilgub dan pilpres. Kosa kata ini pada dasarnya sebenarnya bukan bahasa politik, dan bukan bahasa jual beli suara. Tetapi biasanya penggunaannya dalam persoalan jual beli dan dunia pelelangan.
Sudah menjadi karakter suatu bahasa memiliki perkembangan dan hidup mengikut bahasa sosial dan lama kelamaan seakan menjadi sebuah terminologi. Akhirnya menjadi lumrah digunakan masyarakat awam dan agen politik untuk transaksi merekrut suara memilih Paslon tertentu.
Dalam bahasa iklan bisnis wani piro tujuannya untuk menarik konsumen agar teringat dengan produk yang ditawarkan dan terpikat membelinya. Kosekuensi hukumnya dalam dunia bisnis tidak ada larangan atau dibolehkan, karena tidak ada transaksional apapun, hanya sekedar propaganda.
Sedangkan wanipiro dalam politik adalah praktek memengaruhi orang lain dengan tawar menawar untuk menarik aspirasi seseorang. Bila tawaran lebih rendah, boleh jadi pilihan akan pindah kepada yang lebih tinggi. Dalam hal ini pemilih tidak punya pilihan selain siapa yang lebih banyak memberi dan akhirnya kehidupan berdemokrasi hanya sebatas retorika. Apakah dapat disamakan wani piro dengan money politics/politik uang?Atau dapat dikategorikan kepada cost politics/pembiayaan politik? Pada dasarnya tujuan dari politik uang dan wanipiro adalah sama, yaitu memberikan uang atau seumpamanya dalam upaya memengaruhi aspirasi seseorang atau kelompok. Akibat dari pemberian itu akan membuat orang yang menerima uang menjadi tidak objektif dalam memiIih calon pemimpinnya.
Seandainya dengan pemberian uang atau seumpama berupa hadiah, cendramata dan lainnya, tidak membuat si penerima uang terpengaruh aspirasinya untuk berpaling kepada Paslon yang tidak seakidah, malah termotivasi dari hasrat Golput untuk memilih secara objektif, menurut saya, praktek seperti ini dapat dikatakan sebagai cost politics. Karena memberikan hadiah untuk memotivasi orang lain mengerjakan kewajibannya dan menunaikan haknya dianjurkan dalam Islam.
Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah mengeluarkan pembiayaan untuk membatalkan hak orang lain atau mengambil yang bukan haknya. Transasi ini dapat digolongkan risywah/suap, karena suap adalah sesuatu yang diberikan guna membatalkan yang benar atau membenarkan yang salah. Atau dengan defenisi lain, suapjuga diartikan sesuatu yang diberikan kepada seseorang hakim atau yang lainya agar memberi hukum menurut kehendak orang yang memberikan sesuatu.
Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang kafir itu membelanjakan hartanya untuk menghalangi orang orang ke jalan Allah, dan mereka terus akan mengeluarkan hartanya dan mereka akan mengalami kerugian yang besar, kemudian mereka akan dikalahkan (QS Anfal: 36)
Pada prinsipnya Islam menganjurkan untuk mengeluarkan sebagian harta kapada orang lain, siapa saja, baik yang meminta atau orang yang tidak meminta. Sama ada pemberian itu berupa sedekah, infak atau hadiah, dan lainlain. Apalagi yang namanya hadiah sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW Tahaaaddu tahaabbu/salinglah kamu memberi hadiah kamu akan saling menyayangi (al hadis).
Dalam hal imbalan pahala tergantung niat si pemberi. Jika niatnya semata karena Allah, untuk memberi sedekah, infak hadiah dsb, dia akan mendapat pahala yang berlipatganda.
Tetapi jika seseorang memberi sesuatu ada niat selain itu, seperti niat memengaruhi aspirasi seseorang untuk memilih calon tertentu, atau pemberian itu bertujuan mendapatkan imbalan yang lebih banyak dari si penerima, maka pemberian itu sia-sia.
Allah SWT berflrman: janganlah kamu memberi untuk mengharap imbalan yang lebih banyak lagi (QS.Al Muddatsir: 6).
Bahkan jika pemberian tersebut dapat memengaruhi seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil, seperti memengaruhi untuk memilih pemimipin yang tidak seakidah, maka pemberian tersebut tidak diragukan lagi keharamannya. Perlu diingat, menyalurkan aspirasi untuk memilih pemimpin sesuai keyakinan dan akidah merupakan persaksian di hadapan Allah SWT. Dan sistim pemilihan langsung sekarang ini dapat digolongkan kepada persaksian kepada Allah SWT, bahwa kita telah memilih pemimpin.
Seorang Muslim tidak boleh enggan memberikan persaksian apabila dipanggil. Allah SWT berfirman: para saksi tidak boleh enggan untuk memberi persaksian apabila dipanggil (QS.AIBaqarah: 283).
Bahkan lebih dari sebuah persaksian memilih pemimpin dengan cara langsung memilih tanda gambar seperti sekarang ini dapat digolongkan kepada bai'at. Siapa siapa yang tidak mengakhiri kehidupan ini sedangkan dia tidak berbi'at kepada pemimpin maka matinya digolongkan kepada matijahiliyah (aI-hadis). Wallahu 'alamu bishshawab.