-->

Halaman

    Social Items


Adapun riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. aI-Rum ayat 39)

Kecenderungan nafsu manusia untuk memiliki harta tidak ditampik oleh Alquran. Selama kecenderungan ini dilakukan melalui mekanisme yang diatur oleh Alquran maka memiliki harta bukanlah aib yang memalukan. Karena itu Alquran mengatur cara memperolehnya dan cara mendistribusikannya.

Aturan-aturan yang dibuat Alquran menunjukkan bahwa harta tidak boleh menumpuk pada seseorang akan tetapi harus beredar secara merata di setiap masyarakat. Dalam tataran ini, Alquran menunjukkan sistem ekonomi yang membawa kepada penumpukan harta dan sistem ekonomi yang benarbenar membawa kepada pemerataan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua sistem ekonomi yang sering beredar di tengah-tengah masyarakat yaitu riba dan zakat. Keduanya sangat kontradiktif karena riba dikecam oleh Alquran sedangkan zakat diperintahkan untuk digalakkan.

Kecaman Alquran terhadap riba menunjukkan bahwa sistem ekonomi riba ini tidak hanya melemahkan ekonomi sesaat tetapi terus berkelanjutan. Kebalikan dari sistem ekonomi zakat yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat secara berkepanjangan.

Pada tataran ini Alquran mempertentangkan antara logika manusia dengan logika Tuhan khususnya dalam hal riba dan zakat. Pertentangan ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan yang signifrkan antara keduanya sehingga dikhawatirkan berdampak kepada kemunduran ekonomi.

Logika manusia memahami bahwa sistem ekonomi riba paling signifikan menambah harta. Penambahan ini bersifat pasti karena jumlah dan waktu sudah ditetapkan di awal transaksi. Dengan demikian, pertambahan dan waktu penerimaan sudah dapat diprediksi dari awal.

Beda halnya dengan logika Tuhan yang memandang bahwa riba tidak memiliki kontribusi pada penambahan harta. Sistem ekonomi riba dapat melemahkan sendi-sendi ekonomi sehingga lambat-Iaun dampaknya tidak hanya menimpa kepada peminjam tapi juga pemodal.

Sebaliknya, logika manusia memahami bahwa zakat dapat mengurangi harta yang dimiliki karena sebagiannya telah diberikan kepada orang lain. Adapun logika Tuhan menyatakan bahwa zakatlah yang dapat menambah harta asalkan dilakukan untuk mencari ridha-Nya.

Perbedaan kedua logika ini memerlukan waktu yang lama untuk membuktikannya. Riba adalah ibarat pohon mangga yang dicangkok dan realitasnya cepat berbuah. Sedangkan zakat adalah ibarat pohon mangga yang ditanam dari bijinya namun lama masa berbuahnya.

Produksi pohon mangga yang dicangkok hanya bertahan beberapa tahun saja dan produktifutasnya semakin lama semakin menurun. Berbeda dengan pohon mangga yang ditanam dari bijinya maka daya tahannya bertahun-tahun dan produktifltasnya semakin lama semakin banyak.

Ketika pohon mangga yang ditanam dari biji sedang meningkat produktifltasnya maka pada saat itu pula pohon mangga yang dicangkok sudah punah. Jika ingin menanam pohon mangga cangkokan yang lain sudah pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Begitulah kira-kira yang dapat dipahami dari ayat di atas ketika mempertentangkan antara riba dengan zakat. Sistem ekonomi riba tidak akan pernah mampu bertahan lama karena pondasinya tidak kuat. Berbeda halnya dengan sistem ekonomi zakat yang dikehendaki oleh Alquran karena pondasinya sangat kuat.

Rapuhnya pondasi sistem ekonomi riba karena tidak memberi kesempatan kepada yang lain untuk memiliki daya beli yang kuat. Berbeda dengan pondasi sistem ekonomi zakat yang membuka kesempatan luas kepada semua pihak untuk memiliki daya beli yang kuat.

Oleh karena itu, riba adalah perbuatan yang dapat merusak tatanan perekonomian karena melemahkan daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat melemah maka secara otomatis produksi akan menurun sehingga membuat perekonomian terpuruk dan kriminal meningkat.

Lain halnya dengan sistem ekonomi zakat yang dapat menumbuhkembangkan tatanan perekonomian karena masyarakat memiliki daya beli yang tinggi. Ketika daya beli tinggi maka secara otomatis produksi meningkat dan perekonomian maju dan angka kriminal berkurang.

Mengingat bahwa zakat memiliki potensi yang kuat untuk menumbuhkan ekonomi maka pengelolaannya harus profesional. Zakat tidak boleh lagi dikelola melalui management "kampungan" yang jika sudah diberikan kepada yang berhak dianggap urusan kewajiban selesai.

Ironisnya, meskipun potensi zakat sangat besar mengembangkan ekonomi umat namun bank-bank syariah belum menunjukkan adanya upaya yang serius untuk mengelolanya. Bank-bank syariah masih tertarik kepada pengelolaan modal sehingga dampaknya pdperekonomian umat masih sangat kabur.

Pengelolaan inilah yang membuat potensi zakat kalah bersaing dengan riba. Hal inilah yang mengingatkan kita pada pernyataan Ali bin Thalib yang artinya "sesuatu yang hak tanpa pengelolaan yang baik dapat dikalahkan yang bathil jika pengelolaannya dilakukan dengan baik".

Disinilah diperlukan peran bank-bank syariah untuk mengaktualkan logika Tuhan di atas. Kehadiran bank-bank syariah tidak cukup hanya berlandaskan targhib dan tarhib dengan bujukan berkah dan surga atau dengan ancaman bencana dan neraka kepada umat.

Selama sistem ekonomi zakat belum dapat diterapkan dengan baik dan benar maka selama itu pula praktik sistem ekonomi riba tidak akan terbendung. Meskipun banyak institusi yang mengklaim dirinya terhindar dari riba namun secara substansi praktik ini tidak terhindarkan.

Kesulitan mengembangkan sistem ekonomi zakat karena dipengaruhi oleh berbagai aturan yang terkesan lebih banyak memihak muzakki dari pada mustahik. Selain itu, zakat selama ini hanya didekati melalui fiqih sentries yang orientasinya hanya sah atau tidak sah.


Sebagai salah satu sistem ekonomi seharusnya zakat didekati melalui perspektif ekonomi yang orientasinya efektif atau tidak efektif. Dengan demikian, bank-bank syariah harus mampu menjadikan zakat sebagai sebuah alternatif untuk menyaingi sistem ekonomi riba.

Ayat di atas menggambarkan ada dua sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat yaitu sistem ekonomi riba dan sistem ekonomi zakat. Kedua sistem ekonomi ini sangat kontradiktif karena riba membawa kepada kemunduran sedangkan zakat membawa kepada kemajuan.

Sistem ekonomi riba hanya memberi keuntungan sepihak saja yaitu kepada pemodal sedangkan kepada pihak peminjam memberi kerugian secara beruntun. Pada awal transaksi saja sudah tercatat keuntungan pihak pemodal dan kerugian bagi pihak peminjam.



Riba versus Zakat Dalam Al-Qur'an


Adapun riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. aI-Rum ayat 39)

Kecenderungan nafsu manusia untuk memiliki harta tidak ditampik oleh Alquran. Selama kecenderungan ini dilakukan melalui mekanisme yang diatur oleh Alquran maka memiliki harta bukanlah aib yang memalukan. Karena itu Alquran mengatur cara memperolehnya dan cara mendistribusikannya.

Aturan-aturan yang dibuat Alquran menunjukkan bahwa harta tidak boleh menumpuk pada seseorang akan tetapi harus beredar secara merata di setiap masyarakat. Dalam tataran ini, Alquran menunjukkan sistem ekonomi yang membawa kepada penumpukan harta dan sistem ekonomi yang benarbenar membawa kepada pemerataan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua sistem ekonomi yang sering beredar di tengah-tengah masyarakat yaitu riba dan zakat. Keduanya sangat kontradiktif karena riba dikecam oleh Alquran sedangkan zakat diperintahkan untuk digalakkan.

Kecaman Alquran terhadap riba menunjukkan bahwa sistem ekonomi riba ini tidak hanya melemahkan ekonomi sesaat tetapi terus berkelanjutan. Kebalikan dari sistem ekonomi zakat yang dapat menguatkan ekonomi masyarakat secara berkepanjangan.

Pada tataran ini Alquran mempertentangkan antara logika manusia dengan logika Tuhan khususnya dalam hal riba dan zakat. Pertentangan ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan yang signifrkan antara keduanya sehingga dikhawatirkan berdampak kepada kemunduran ekonomi.

Logika manusia memahami bahwa sistem ekonomi riba paling signifikan menambah harta. Penambahan ini bersifat pasti karena jumlah dan waktu sudah ditetapkan di awal transaksi. Dengan demikian, pertambahan dan waktu penerimaan sudah dapat diprediksi dari awal.

Beda halnya dengan logika Tuhan yang memandang bahwa riba tidak memiliki kontribusi pada penambahan harta. Sistem ekonomi riba dapat melemahkan sendi-sendi ekonomi sehingga lambat-Iaun dampaknya tidak hanya menimpa kepada peminjam tapi juga pemodal.

Sebaliknya, logika manusia memahami bahwa zakat dapat mengurangi harta yang dimiliki karena sebagiannya telah diberikan kepada orang lain. Adapun logika Tuhan menyatakan bahwa zakatlah yang dapat menambah harta asalkan dilakukan untuk mencari ridha-Nya.

Perbedaan kedua logika ini memerlukan waktu yang lama untuk membuktikannya. Riba adalah ibarat pohon mangga yang dicangkok dan realitasnya cepat berbuah. Sedangkan zakat adalah ibarat pohon mangga yang ditanam dari bijinya namun lama masa berbuahnya.

Produksi pohon mangga yang dicangkok hanya bertahan beberapa tahun saja dan produktifutasnya semakin lama semakin menurun. Berbeda dengan pohon mangga yang ditanam dari bijinya maka daya tahannya bertahun-tahun dan produktifltasnya semakin lama semakin banyak.

Ketika pohon mangga yang ditanam dari biji sedang meningkat produktifltasnya maka pada saat itu pula pohon mangga yang dicangkok sudah punah. Jika ingin menanam pohon mangga cangkokan yang lain sudah pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Begitulah kira-kira yang dapat dipahami dari ayat di atas ketika mempertentangkan antara riba dengan zakat. Sistem ekonomi riba tidak akan pernah mampu bertahan lama karena pondasinya tidak kuat. Berbeda halnya dengan sistem ekonomi zakat yang dikehendaki oleh Alquran karena pondasinya sangat kuat.

Rapuhnya pondasi sistem ekonomi riba karena tidak memberi kesempatan kepada yang lain untuk memiliki daya beli yang kuat. Berbeda dengan pondasi sistem ekonomi zakat yang membuka kesempatan luas kepada semua pihak untuk memiliki daya beli yang kuat.

Oleh karena itu, riba adalah perbuatan yang dapat merusak tatanan perekonomian karena melemahkan daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat melemah maka secara otomatis produksi akan menurun sehingga membuat perekonomian terpuruk dan kriminal meningkat.

Lain halnya dengan sistem ekonomi zakat yang dapat menumbuhkembangkan tatanan perekonomian karena masyarakat memiliki daya beli yang tinggi. Ketika daya beli tinggi maka secara otomatis produksi meningkat dan perekonomian maju dan angka kriminal berkurang.

Mengingat bahwa zakat memiliki potensi yang kuat untuk menumbuhkan ekonomi maka pengelolaannya harus profesional. Zakat tidak boleh lagi dikelola melalui management "kampungan" yang jika sudah diberikan kepada yang berhak dianggap urusan kewajiban selesai.

Ironisnya, meskipun potensi zakat sangat besar mengembangkan ekonomi umat namun bank-bank syariah belum menunjukkan adanya upaya yang serius untuk mengelolanya. Bank-bank syariah masih tertarik kepada pengelolaan modal sehingga dampaknya pdperekonomian umat masih sangat kabur.

Pengelolaan inilah yang membuat potensi zakat kalah bersaing dengan riba. Hal inilah yang mengingatkan kita pada pernyataan Ali bin Thalib yang artinya "sesuatu yang hak tanpa pengelolaan yang baik dapat dikalahkan yang bathil jika pengelolaannya dilakukan dengan baik".

Disinilah diperlukan peran bank-bank syariah untuk mengaktualkan logika Tuhan di atas. Kehadiran bank-bank syariah tidak cukup hanya berlandaskan targhib dan tarhib dengan bujukan berkah dan surga atau dengan ancaman bencana dan neraka kepada umat.

Selama sistem ekonomi zakat belum dapat diterapkan dengan baik dan benar maka selama itu pula praktik sistem ekonomi riba tidak akan terbendung. Meskipun banyak institusi yang mengklaim dirinya terhindar dari riba namun secara substansi praktik ini tidak terhindarkan.

Kesulitan mengembangkan sistem ekonomi zakat karena dipengaruhi oleh berbagai aturan yang terkesan lebih banyak memihak muzakki dari pada mustahik. Selain itu, zakat selama ini hanya didekati melalui fiqih sentries yang orientasinya hanya sah atau tidak sah.


Sebagai salah satu sistem ekonomi seharusnya zakat didekati melalui perspektif ekonomi yang orientasinya efektif atau tidak efektif. Dengan demikian, bank-bank syariah harus mampu menjadikan zakat sebagai sebuah alternatif untuk menyaingi sistem ekonomi riba.

Ayat di atas menggambarkan ada dua sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat yaitu sistem ekonomi riba dan sistem ekonomi zakat. Kedua sistem ekonomi ini sangat kontradiktif karena riba membawa kepada kemunduran sedangkan zakat membawa kepada kemajuan.

Sistem ekonomi riba hanya memberi keuntungan sepihak saja yaitu kepada pemodal sedangkan kepada pihak peminjam memberi kerugian secara beruntun. Pada awal transaksi saja sudah tercatat keuntungan pihak pemodal dan kerugian bagi pihak peminjam.



Load Comments

Subscribe Our Newsletter