Seorang jamaah pengajin Shubuh bertanya, "Ustadz, bagaima hukumnya menunda shalat berjamaah di masjid dari waktunya, karena menuntut ilmu? Misalnya kajian dimulai sebelum 'Ashar dan selesainya jam 5 baru shalat 'Ashar."
Ustadz menjawab, "Kita harus memilah lebih dahulu hukum menuntut ilmu, dan hukum shalat berjamaah di masjid. Pertama, Alquran surah at Taubah ayat 122 menjelaskan pentingnya memahami sesuatu, khusunya soal agama (tafaqquh fi al din). Dari ayat ini kemudian para ulama sepakat, menuntut ilmu wajib, berdasarkan hadis: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim. Hukum menuntut ilmu menurut Islam adalah wajib, tetapi tidak wajib pintar, yang wajib hanya menuntutnya saja. Seandainya pintar hukumnya diwajibkan, maka akan menjadi tidak adil, karena ketika tidak pintar akan berdosa.
Wajib menurut bahasa/etimologi/lughah adalah pasti atau tepat. Sedangkan menurut istilah/terminologi ushul fiqh adalah "sesuatu yang diperintah oleh syar'i supaya dikerjakan oleh mukalaf secara pasti dan perintah itu disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib” (Abdul Wahab Khalaf-Ushul Fiqih). Petunjuk itu bisa berupa kalimat perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya.
Wajib itu sendiri ditinjau dari berbagai aspek terdiri dari:
(1). Wajib dari segi pelaksanaannya, yakni wajib muthlaq (tidak terikat waktu) dan wajib muqoyyad (terikat waktu).
Demikian juga Imam Nawawi menjelaskan tentang wajib kafa'i, yaitu ilmu yang dibutuhkan manusia demi tegaknya ad Din yang sifatnya harus ada, yaitu berupa ilmu-ilmu syari'at, seperti menghafal Alquran, Alhadis (dan yang terkait dengannya), ilmu ushul fiqh, kaedah fiqh, fiqh, Bahasa Arab, (nahu shorof, balaghah, bayan, badi' manthiq, 'arudh), ijma' dan perselisihan (ikhtilaf) ulama. Dalam kata lain, suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjan dari sekelompok orang. Jika pekerjaan tersebut telah dikerjakan sebagian orang, maka bebaslah yang lain dari kewajiban itu.
Kedua, shalat berjamaah di masjid merupakan keutamaan termasuk ciri orang beriman. Hal ini sebagaimana ayat di atas, dan juga sabda Rasulullah Muhammad SAW: Shalat seorang Iaki-Iaki dengan berjamaah akan dilipat gandakan 25 kali lipat daripada shalat yang dilakukan di rumah dan di pasarnya. Yang demikian itu, apabila seseorang berwudhu', lalu ia menyempurnakan wudhu'nya, kemudian keluar menuju ke masjid, tidak ada yang mendorongnya untuk keluar menuju masjid kecuali untuk melakukan shalat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya, kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat, dan dengan langkah itu dihapuskan kesalahannya. Apabila ia shalat dengan berjamaah, maka Malaikat akan senantiasa bershalawat (berdoa) atasnya, selama ia tetap di tempat shalatnya (dan belum batal). Malaikat akan bershalawat untuknya, 'Ya Allah! Berikanlah shalawat kepadanya. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya.' Salah seorang di antara kalian tetap dalam keadaan shalat (mendapatkan pahala shalat) selama ia menunggu datangnya waktu shalat (HR. AI-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, dan banyak hadis lain).
Meskipun boleh saja bagi seseorang yang mempunyai udzur (halangan) syar'i melaksanakan shalat 5 waktu di pertengahan atau sebelum akhir waktunya, seperti ketika ia sedang sakit, atau safar (bepergian jauh), kondisi perang, adanya hajat yang sangat mendesak, menyelamatkan orang yang akan tenggelam, memadamkan rumah yang kebakaran atau selainnya. Namun menurut pandangan kami bahwa pernyataan seseorang, "Dahulukan menuntut ilmu walaupun waktu shalat sudah masuk, kita undur”, adalah pernyataan yang kurang tepat disampaikan kepada kaum Muslimin secara umum. Sebagian atau kebanyakan mereka mungkin terbiasa menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya. Janganlah menyengaja menunda-nunda pelaksanaan shalat pada waktunya, atau pada awal waktunya dengan alasan sedang menuntut ilmu agama. Apalagi jika materi kajian atau ilmu yang sedang dibahas bukan termasuk ilmu yang hukumnya wajib 'ain, tapi hanya bersifat wajib kifayah.
Menunda pelaksanaan shalat fardhu pada (awal) waktunya dengan alasan menuntut ilmu agama boleh dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1). Waktu selesainya kajian ilmu tersebut tidak menyebabkan berakhirnya waktu shalat yang dilalui, sehingga menyebabkan pelaksanaan shalat di luar waktunya.
2). Tempat kajian ilmiah bukan di masjid umum yang sebagian jamaah atau masyarakat di sekitar masjid tidak ikut menghadiri pengajian. Sebab, jika melangsungkan kajian di masjid umum padahal sudah masuk waktu shalat dapat menimbulkan fltnah di tengah masyarakat, dan akan menghalangi orang lain yang ingin melaksanakan shalat fardhu di awal waktu.
3). Bisa menunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya demi menyelesaikan kajian ilmu yang diadakan di dalam masjid jika masjid tersebut berada di dalam sebuah pesantren atau kampus yang mana semua atau sebagian besar santri, mahasiswa dan pengajar ikut kajian, atau sama-sama sedang menyelesaikan pelajaran di dalam ruang kelas.
Karena yang demikian ini demi ketertiban kegiatan belajar dan mengajar, dan juga sangat jauh dari timbulnya fltnah sebagaimana di masjid umum di tengah masyarakat berjamaah di awal waktunya.
Dalam sebuah kaedah fiqh Imam Syafii pernah mengatakan idzat tasa'al amru dhoqo/apabila sesuatu itu luas (pelaksanaannya mudah/banyak waktu), maka menjadi sempit hukumnya. Artinya orang yang dalam kadaan biasa (longgar/lapang), shalatnya harus dalam waktu dan dengan menetapi semua syarat dan rukunnya. Wallahu a'lam.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orangorang yang beriman kepada Allah dan beriman pada hari akhir (Kiamat) serta tetap mendirikan shalat, membayar zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain (takut) kepada Allah (QS. at Taubah: 18)
(2). Wajib dari segi tertentunya tuntutan, yaitu; Wajib Mu'ayyan yaitu kewajiban yang hanya memiliki satu tuntutan, dan wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang tidak hanya memiliki satu macam tuntutan, tetapi memiliki beberapa alternatif yang dapat dipilih, seperti kaffarah sumpah.
(3) Wajib dari segi kadar/ukuran perintah (wajib muhaddad), seperti pembagian waris, besar satuan/ukuran zakat. Dan wajib ghoiri muhaddad yaitu tidak memiliki ukuran konkrit, seperti memberi nafkah keluarga.
(4). Wajib dari segi pelaksananya dibagi menjadi dua bagian kewajiban yaitu, wajib 'aini, dan wajib kafa'i (kifayah). Wajib 'aini ialah suatu kewajiban yang harus dikerjakan setiap mukallaf, sehingga jika ia meninggal ia tidak mengerjakannya maka berdosalah ia dan berhak disiksa (seperti shalat, puasa, zakat, haji), Muhammad Abu Zahrah-Ushul Fiqih). Imam Nawawi dalam Syarah AI Muhadzab mengatakan wajib 'aini meliputi: mengetahui tauhid dan kebalikannya, yaitu syirik, bokok-pokok keimanan (rukun iman) dan rukun Islam, hukum hukum shalat, tatacara wudhu“, bersuci dari junub, dan yang semisalnya. Termasuk dalam jenis ini, yaitu mengetahui hal yang diharamkan dalam Islam, seperti masalah makanan, minuman, pakaian, kehormatan, darah, harta, ucapan dan perbuatan. Lebih lanjut Beliau mengatakan: Wajib baginya (seseorang yang tidak tahu hukum) untuk meminta fatwa, jika mengalami kejadian kontemporer yang harus diketahui hukumnya. Jika di negerinya tidak didapatkan orang yang mampu berfatwa, maka wajib baginya pergi kepada orang yang mampu berfatwa walaupun jauh dari rumahnya.